Review Film Hicki – “Seorang guru biasanya hanya mengajarimu. Seorang guru yang baik akan membuatmu mengerti. Guru yang baik akan menunjukan cara menerapkan ilmu yang dipelajarinya.”
Review Film Hicki India
Film Hicki begitu banyak menyiratkan pesan pendidikan. Sepanjang menonton film ini, kita akan dibawa untuk merefleksikan posisi sekolah/pendidikan formal lainnya diantara kehidupan kita sehari-hari. Sekolah yang kita anggap sebagai ladang belajar ternyata tak selalu mengajarkan sesuatu yang kita anggap baik. Berikut adalah hal-hal menarik di Film Hicki yang kawan-kawan semua wajib tau.
Eksklusifitas sekolah dan pertentangan kelas sosial didalamnya
Tokoh utama dalam film tersebut, Naina Mathur, adalah pengidap tourrete syndrome, kelainan saraf yang membuat ia mengalami cegukan terus-menerus. Ia bercita-cita menjadi seorang guru, tetapi ternyata puluhan sekolah menolaknya hanya karena ia memilik hal berbeda yang tidak dialami oleh kebanyakan orang lainnya.
Perlakuan diskriminatif tersebut sudah Naina terima sedari kecil. Ditertawakan teman-temannya, dimarahi oleh gurunya karena suara cegukan yang terus mengganggu suasana belajar, hingga dipaksa oleh ayahnya untuk bersekolah di sekolah khusus.
Sekian lama menganggur karena puluhan kali ditolak, Naina akhirnya mendapat kabar bahwa ia diterima sebagai guru di St. Notkers, tempat bersekolahnya dahulu. St. Notkers membutuhkan guru untuk kelas 9f yang kondisinya berbeda dibandingkan kelas-kelas biasanya. Ia adalah kelas khusus untuk anak-anak orang miskin sebagai bentuk produk kebijakan hak atas pendidikan di India.
Meski dikenal dengan kelas untuk murid yang bodoh, 9f adalah kelas yang kompak dan solid. Mereka tidak pernah mau belajar dan melakukan segala cara agar tidak ada orang yang bisa mengatur mereka, termasuk Bu Naina. Mereka seolah tidak mau dijadikan tikus percobaan seperti kelas favorit 9a yang menurut mereka orientasi belajarnya selalu untuk mengejar lencana (penghargaan).
Perlakuan diskriminatif kerap kali diterima oleh murid-murid kelas 9f. Teman-temannya yang lain tidak menerima keberadaan mereka karena status sosialnya yang berbeda. Apalagi, iklim belajar St. Notkers yang kompetitif membuat keberadaan mereka sebagai kalangan kelas bawah semakin tersingkirkan.
Kisah yang begitu dekat dengan realitas pendidikan kita di Indonesia, ketika akses pendidikan tidak bisa diperuntukan ke semua orang. Kalangan menengah bawah yang terhalang biaya adalah salah satunya. Tak hanya itu, ketika akses pendidikan tersebut diperolehpun, pertentangan kelas sosial masih sering terjadi.
Sesederhana ketidakpunyaan kepercayaan diri murid-murid menengah bawah membuat mereka takut punya cita-cita yang tinggi, pesimis karena tidak bisa punya akses semudah teman-temannya yang lain, hingga kepasrahan dan sikapnya menyalahi keadaan kerap jadi teman. Meski tidak semua, beberapa sekolah gagal menciptakan iklim belajar yang sensitif terhadap perbedaan atas banyak hal di kehidupan.
Pendidikan aktual dan hadap masalah
Seperti orang tua murid kelas 9f yang tidak bisa datang ke sekolah di jadwal pertemuan yang diagendakan, Naina Marthur mengunjungi satu persatu perkampungan kumuh tempat mereka tinggal. Ketidakhadiran mereka bukan disebabkan karena ketidakmauan mereka, melainkan karena mereka tak punya waktu untuk datang ke sekolah karena padatnya waktu bekerja.
Pendidikan yang baik bukan hanya yang nyata dan kongkrit, melainkan juga sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi pembelajarnya. Pendidikan yang hadap masalah memberikan kesempatan kepada pembelajarnya untuk mengetahui kondisi diri dan sosialnya. Ia akan membantu pembelajarnya menjadi manusia bebas sesuai kehendak masing-masing.
Ilmu pengetahuan yang kita pelajari seringkali menjauhkan kita dari realitas yang ada. bagaimana bisa, penyeragaman kurikulum nasional membuat sekolah secara institusi justru menjauhkan murid-muridnya dengan kehidupan sehari-hari. Kurikulum pembelajaran masyarakat perkotaan tentu harusnya berbeda dengan masyarakat pesisir laut, misalnya. Jangan heran jika peserta didik justru meninggalkan tempat tinggalnya, bahkan identitas lokalnya.
Metode belajar kontekstual
Metode belajar yang menyenangkan sering kali gagal diciptakan oleh guru. Bukan hanya menyenangkan, tapi juga sesuai dengan konteks. Di lingkungan rimba, tidak jarang murid-murid membolos sekolah karena harus membantu orang tuanya ke kebun. Jam belajar sekolah yang tetap dari pagi hingga siang mambuatnya harus memilih tidak bersekolah karena keterbatasannya.
Di film Hicki, Naina Marthur punya sistem belajar yang kontekstual. Melaksanakan pembelajaran di luar ruang kelas, mengabsen kehadiran peserta dengan melempar telur rebus satu persatu sekaligus untuk sarapan, belajar rasi bintang di malam hari, hingga memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi guru sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing.
Pembelajaran dikelas 9f berjalan begitu setara. Tidak ada yang lebih dominan antara guru dan murid. Naina dan murid-murid 9f bisa belajar dimanapun dan kapanpun, tidak terbatas pada ruang kelas dan jam belajar yang ditetapkan oleh sekolah.
Kita bisa belajar banyak hal dari film Hicki ini. tentang bagaimana membangun iklim belajar yang egaliter, menggunakan ilmu pengetahuan kita ditengah masalah yang terjadi disekitar, hingga memahami bahwa keadaan kehidupan yang sesungguhnya adalah sebuah relasi yang saling mempengaruhi, termasuk pengaruhnya terhadap dunia pendidikan.
Mengutip salah satu tokoh dalam film Hicki, Mr. Wadia, bahwa saat aku muda, kupikir menjadi guru itu sulit, setelah 20 tahun menjadi guru, aku baru mengerti, ada hal yang lebih sulit daripada menjadi guru, yaitu menjadi murid. Jika murid salah mempelajari sesuatu dia akan kehilangan nilainya dan tak lulus, tapi jika guru salah mengajarkan sesuatu dia takkan kehilangan apapun. Mengajar itu mudah, belajar itu yang susah.
гѓ—гѓ¬гѓ‰гѓ‹гѓігЃ®йЈІгЃїж–№гЃЁеЉ№жћњ – г‚ўгѓўг‚г‚·г‚·гѓЄгѓігЃЇи–¬е±ЂгЃ§иІ·гЃ€г‚‹пјџ г‚ёг‚№гѓгѓћгѓѓг‚Ї е‰ЇдЅњз”Ё