Puisi Tentang Merdeka –
Rempah-rempah sudah digelar di lapak pedagang
Gemerincing uang logam terdengar dari dompet emak-emak
Suara tawar menawar terdengar dari nada do hingga si
Nyanyian halus itu disahuti juga oleh motor yang lewat
Pagi-pagi buta melintas di depan pom bensin taman siswa
Pasar itu sudah dipadati oleh para pedagang kecil
Mereka sudah berada di sana? Ya, mungkin sudah 2 jam
Sayuran hijau di sana sudah siap bahkan di saat pejabat belum siap bangun
Wajah emak-emak itu tidak ditutup PPKM, hanya ditutup masker
Mereka masih dapat berjualan, meski terbatas
Terus disalahkan karena terus keluar rumah
Diteriaki karena menyebarkan virus ke sana kemari
Ya, setidaknya itu lah yang dihujatkan publik kepada mereka
Meski sudah berhati-hati dan menerapkan prokes
Terkadang dunia ini kejam
Kamu harus mati karena virus atau kamu harus mati karena kelaparan
Teringat aku pada suatu malam di musim kemarau
Aku melangkah bersama sahabatku ke tempat yang menjual kopi hangat
Malam itu begitu dingin, maklum bumi baru saja aphelion di bulan sebelumnya
Ku pesan segelas kopi aceh menghangatkan badan
Seorang penjaja gorengan, orang asli kotagede menawarkan gorengannya di depan kami
Bersepeda dari kotagede hingga daerah seturan, membawa satu box gorengan
Seharian ia menjajakan gorengan, aku lihat isi box itu masih terisi setengah
Di bawah topi putih, senyum riang saat aku beli gorengan itu 20 ribu
Ia bercerita sejenak sambil menghela napas, keringat wajahnya tersorot lampu jalan
Ia berjualan demi menafkahi istri dan anaknya di rumah
Dalam kunyahan, glukosa gorengan mengirim stimulant ke saraf-saraf ku
Apa fungsinya gedung-gedung itu berdiri di Jogja?
Orang-orang Jogja malah berada di pelukan selimut-selimut usang
Di pelukan tembok-tembok kusam yang menopang rumah mereka
Sedang mereka si pemilik modal bisa tidur di kamar ber-AC
Ya, si pemiliki gedung bertingkat, perusahaan konglomerat, rekan para pejabat
Mari mengetuk pintu rumah warga Jogja, melihat senyum paling tulus dari mereka
Diam tinggal di perkampungan padat penduduk, tidak ada rumah besar real estate di sana
Pendatang menguasai tanah di kota, membangun gedung usaha
Tergusur, itu lah diksi yang tepat menggambarkan warga Jogja yang terpinggir
Slurrpp, Kopi kembali ku sruput
Membasuh sisa-sisa gorengan di mulut
Tersentak lah aku “orang-orang menyebut kita merdeka?”
Apa arti merdeka jika bangsa kita belum menerima keadilan sosial
Setidaknya, itulah sebuah realita sosial pada malam itu
Dua mahasiswa yang ditemani sruputan kopi Aceh untuk memaknai kemerdekaan
Seorang penjaja gorengan yang masih dapat berjualan sebelum pandemi
Ssssttt, ada pejabat, taipan, dan bos-bos berduit yang sedang tidur nyenyak
Kembali lagi ke malam senyap di tengah pandemi
Dingin sepi saat diberlakukannya PPKM
Selentingan kabar wara wiri di media-media
Sebuah kabar pengocok perut pun hadir
Coba tebak siapa nama cucu presiden ini?
Dia berpengaruh daan amat nasionalis
Saking nasionalisnya, balihonya ada dimana-mana
Itu bukan pencitraan, tapi program membuat lapangan kerja bagi industri percetakan
Selang beberapa hari ada medali emas dari olimpiade
Sebuah hadiah bagi bulan kemerdekaan
Sepasang atlit itu bercucur keringat untuk mengukir sejarah
Kita pun bersorak-sorak kegirangan
Para pejabat negara pun sangat kegirangan
Negara langsung memberikan banyak hadiah untuk para atlit kita
Sebagian pejabat menghadiahinya dengan ucapan selamat
Ku kira poster itu berisi wajah para atlit, ternyata poster itu berisi wajah pejabat
Suka miris membaca wajah negara ku
Pejabatnya dikit-dikit nyari panggung sana-sini
Tapi mau bagaimana lagi? Memang kelakuan pejabat seperti itu
Sebagian lain mengisi medianya dengan acara romansa dan hura-hura
Panel-panel kritik perlahan diberhentikan acaranya
Lah wong yang punya media koalisi sama partainya
Ada sihh ruang untuk mengkritik, tapi dimana-mana ada pembunuhan karakter
Anda mengkritik pemerintah? Siap-siap aib anda dibongkar ke publik
1980 George Orwell
Puisi Tentang Merdeka
Mata ada dimana-mana
Otak mu dikendalikan negara, berpikir pun dilarang
Siksaan yang dalam jika kita memiliki pikiran yang tidak sama dengan Bung Besar
Masih dari kejenuhan George Orwell
Mereka yang dahulu memperjuangkan hak rakyat kelas bawah
Berhasil menggulingkan orang kelas atas
Tetapi mereka malah menjadi orang kelas atas yang baru
Mereka lupa siapa dan apa tujuan mereka dulu
Mereka justru menjadi penindas baru, di situ lah karma datang
Mereka digulingkan oleh orang-orang yang memperjuangkan rakyat kelas bawah
Para aktivis itu kemudian menang, dan menjadi orang kelas atas yang baru
Para pemuda terus-terusan menggulingkan penguasa
Setelah itu mereka menjadi penindas baru
Tak berapa lama muncul lagi pemuda baru yang menggulingkan penindas lama
Terus berulang hingga rakyat kecil tak dapat apa-apa
Begitu lah kutipan novel yang aku celotehkan jadi butiran sajak puisi
Gores demi gores, huruf demi huruf aku coba maknai merah putih
Berkibar di sepanjang agustus, apakah hanya sebatas bendera
Kibaran itu memaknai kemerdekaan bangsa yang berdaulat
Ku coba lihat wajah negara ku
Masih banyak rakyat kelaparan sedang pejabatnya banyak anggaran
Ku tertawa saat dewan dikarantina difasilitasi negara
Padahal banyak desa di pedalaman yang tidak terjangkau rumah sakit
Merah merona dari buah nanas yang baru muncul
Hidupnya masih panjang hingga ia bisa dipanen
Daun-daun kering kecoklatan menutupi tanah
Biru cerah warna langit, burung wallet beterbangan ke sana kemari
Indah sekali pemandangan di lembah itu, tanah nya sangat luas
Seluas itu pula desa yang tidak terjangkau fasilitas kesehatan
Disitu tidak dibangun rumah sakit, biar gak ada hutan yang digusur
Kalo tambang batubara dibuka, itu bukan perusakan alam, kata buzzer nya sih
Membuka Kawasan ibukota baru, itu namanya pembangunan
Kalau fasilitas daerah terpencil dibangun, gak boleh
Itu merusak alam, nanti banjir lagi banjir lagi..
Begitu lah saat kritik saya dimatikan buzzer di kolom instagram
Ini lah gambaran bangsa yang merdeka
Lembaran puisi ini saya cukupkan dalam lagu setiap ketikan
Dalam suara detik jam di tengah malam, tik tik tik
Dalam dinginnya, eh salah hangatnya pelukan selimut konglomerat
Baca juga artikel tentang ‘TWIBBON HUT RI‘ dan artikel puisi lainnya di rubrik ‘SASTRA’.
г‚·гѓ«гѓ‡гѓЉгѓ•г‚Јгѓ«гЃ®иіје…Ґ – г‚·гѓ«гѓ‡гѓЉгѓ•г‚Јгѓ« еЂ¤ж®µ г‚їгѓЂгѓ©гѓ•г‚Јгѓ«йЂљиІ©
жЈи¦Џе“Ѓгѓ—гѓ¬гѓ‰гѓ‹гѓійЊ гЃ®жЈгЃ—い処方 – г‚ўгѓўг‚г‚·гѓ« еЂ‹дєєијёе…Ґ гЃЉгЃ™гЃ™г‚Ѓ жЈи¦Џе“Ѓг‚ўг‚ёг‚№гѓгѓћг‚¤г‚·гѓійЊ гЃ®жЈгЃ—い処方