Kalau kalian mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN), khususnya Yogyakarta, pasti familiar dengan demo UKT yang sering di gembor-gemborkan di hampir setiap tahunnya. Dengung lagu darah juang, buruh tani, serta slogan turunkan UKT dan segala tetek bengeknya selalu mewarnai perjalanan kawan semua selama menjadi mahasiswa.
Supaya tidak menjadi mahasiswa yang jargonis, jago teriak tapi bacaannya tipis, minimal kawan semua mengetahui apa yang sering diteriakan lantang-lantang di depan rektorat itu, jika kalian mahasiswa UIN atau manapun yang sering demo UKT. Hehe. Tulisan Mas Panji ini bisa memberikan gambaran kenapa banyak mahasiswa yang rela panas-panasan menggelar demo, mendirikan tenda di depan rektorat malam-malam, meskipun akhirnya di usir oleh satpam dan gagal bakar ban.
Sederhananya, buku ini mengulas tentang kenapa semakin hari perguruan tinggi semakin mahal? Apakah hal tersebut ujug-ujug saja terjadi? Kalau tidak, dari mana asalnya? Dan apa sebenernya maksud liberalisasi, komersialisasi, privatisasi yang sering kita lihat tertera di banyak poster saat demo tentang mahalnya biaya pendidikan.
Mas Panji terlebih dahulu mengajak kita untuk merefleksikan kondisi pendidikan hari ini. Dengan mayoritas angkatan kerja yang masih di dominasi oleh lulusan SMP, mencapai angka 57,4%, memunculkan pesimisme tersendiri bahwa Indonesia sepertinya akan gagal melewati bonus demografinya dengan baik. Mahalnya biaya pendidikan, kelangkaan Perguruan Tinggi, hingga rendahnya subsidi belanja pendidikan turut mempengaruhi kenapa mahasiswa menyumbangkan angka yang kecil dari seluruh angkatan kerja yang ada.
Dahulu, pada zaman presiden Soekarno, pendidikan kita ternyata pernah gratis loh. Asalkan setelah lulus mahasiswa tersebut bekerja di pemerintahan. Tapi kenapa ya, sekarang makin hari biaya kuliah makin mencekik? Tidak jarang anak tetangga kita gagal kuliah karena biaya yang tidak sedikit.
Di Era Soeharto, seluruh peraturan pendidikan perguruan tinggi yang berlaku sebelumnya di jaman Soekarno dihapuskan. Peraturan yang berlaku pada saat itu adalah UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang sederhananya mengatur bahwa pendidikan bukan hanya jadi tanggungjawab pemerintah saja, melainkan juga peserta didik dan masyarakat. Era Soeharto inilah sistem Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) diberlakukan.
Pada tahun-tahun berikutnya, antara 1999-2012 mulailah jelas di beberapa perguruan tinggi telah punya otonomi untuk memungut biaya sendiri dari masyarakat. Uang pangkalpun mulai banyak di berlakukan di beberapa perguruan tinggi. Salah satu payung hukum yang melegitimasi pemungutan uang pangkal adalah pasal 114 dan 115 PP Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi yang didalamnya membolehkan pungutan dari masyarakat dan lembaga, serta kewenangan perguruan tinggi tersebut untuk mengelolanya.
Alasan kenapa kita perlu menentang UKT (Uang Kuliah Tunggal)
Terbitnya UKT tidak terlepas dari UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. UKT serentak diberlakukan pertama kali pada tahun 2013 melalui Permendikbud No. 55 Tahun 2013.
Gagasan idealnya adalah pemerintah mencoba menyusun biaya kuliah yang lebih terjangkau. Melihat saat sistem SPP dan uang pangkal di berlakukan, selalu ada pungutan-pungutan lain seperti biaya KKN, PPL, yudisium, wisuda, dan biaya lainnya yang dirasa memberatkan masyarakat. UKT dimaksudkan agar mahasiswa hanya membayar satu kali selama satu semester tanpa pungutan-pungutan yang lain.
Tapi kenapa UKT justru lebih mahal? Ternyata hal-hal dibawah ini faktornya.
Pertama, mahasiswa dibebankan komponen yang seharusnya tidak dibayar.
Dalam Permendikbud, cara menentukan besaran UKT adalah UKT = BKT – BOPTN. UKT adalah sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. BKT adalah keseluruhan biaya operasional per mahasiswa persemesmter pada program studi di perguruan tinggi negeri, yang digunakan sebagai dasar penetapan biaya yang dibebankan kepada mahasiswa, masyarakat, dan pemerintah. BOPTN adalah bantuan biaya dari pemerintah yang diberikan pada perguruan tinggi negeri untuk membiayai kekurangan biaya operasional sebagai akibat tidak adanya kenaikan sumbangan pendidikan (SPP) di perguruan tinggi negeri.
Berdasarkan peraturan yang sudah disebutkan diatas, artinya mahasiswa hanya berkewajiban untuk membayar BKT berupa biaya operasinoal saja. Dalam UU Diktipun dijelaskan bahwa mahasiswa hanya boleh dibebankan biaya operasioal, tidak boleh dibebankan atas biaya investasi dan pengembangan.
Jenis biaya dalam PT sendiri dibagi menjadi biaya investasi dan operasional. Biaya investasi adalah biaya untuk pengadaan sarana dan prasarana, pengembangan dosen, dan tenaga kependidikan. Sedangkan biaya operasional adalah biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan yang mecakup biaya dosen, biaya tenaga kependidikan, biaya bahan operasional pembelajaran, dan biaya operasional tidak langsung.
Dalam praktiknya, Kemendikbud memasukan komponen uang gedung di dalam UKT yang mesti dibayarkan mahasiswa. Padahal uang gedung adalah biaya investasi, bukan biaya operasional. Di Unsoed, misalnya, rektoratnya ternyata memasukan biaya pengadaan gedung dan kendaraan roda empat ke dalam BKT. Hal yang sama juga terjadi di Unhas, membebankan biaya seperti pembiayaan sumber daya manusia, bahan habis pakai, sarana umum, gedung, pemeliharaan dan kegiatan lainnya kepada mahasiswa.
Dalam regulasinyapun bermasalah, BKT ditentukan berdasarkan standar pembiayaan pendidikan yang disebut SSBOPT (Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi). Dalam SSBOPT, biaya operasional terdiri dari biaya langsung dan biaya tidak langsung. Dan melalui SSBOPT inilah kemenristekdiksi memasukan dana diluar kategori biaya operasional lewat komponen-komponen biaya tidak langsung.
Hal ini yang membuat ketika UKT diberlakukan, mahasiswa justru membayar lebih mahal dibanding saat sistem SPP masih berlaku. Bagaimana tidak, mahasiswa ikut membiayai total cost universitas yang biayanya sangat besar. Padahal itu bukan tanggungjawab mahasiswa.
Kedua, Pungutan diluar UKT.
Pungutan diluar UKT dilarang di semua peraturan yang mengatur tentang UKT. Sayangnya, aturan mengenai pemberian sanksi terhadap PTN yang memungut biaya diluar UKT telah dihapuskan di Permenristekdikti No. 39 Tahun 2016 dan No. 39 Tahun Tahun 2017 tentang UKT.
Sama halnya dengan kasus uang pangkal/gedung yang banyak diberlakukan di beberapa PTN. Meski ada aturan yang membahas mengenai tidak diperbolehkannya pemungutan uang pangkal, ada pasal lain yang mengatakan bahwa diperbolehkan adanya pungutan selain UKT bagi mahasiswa asing, kelas internasional, jalur kerjasama, dan jalur mandiri. Padahal, uang pangkal ini jelas bukan termasuk biaya operasinal.
Otonomi Pengelolaan Perguruan Tinggi
Salah satu faktor yang membuat semakin hari pendidikan kita semakin mahal adalah karena Perguruan Tinggi punya otonomi sendiri untuk menegelola secara bebas. Konsep mengenai otonomi ini tidak terlepas dan erat kaitannya dengan dokumen Magna Charta Universitatum tahun 1988. Dokumen yang ditandatangani oleh sejumlah perguruan tinggi di berbagai negara, termasuk Indonesia yang didalamnya berisi tentang prinsip independensi perguruan tinggi dan otonomi penyelenggaraan modern yang berprinsip efektivitas dan efisiensi tanpa campur tangan dari pemerintah.
Selain itu ada pengaruh yang cukup besar juga dari keterlibatan Bank Dunia yang akhirnya mempengaruhi perekonomian Indonesia dan berdampak pada sektor pendidikan. Salah satunya adalah Kesepakatan Washington yang terdiri dari Word Bank, IMF, dan Departemen Keuangan Amerika Serikat yang bermaksud untuk membantu negara-negara yang mengalami krisis ekonomi dengan merekomendasikan 10 kebijakan ekonomi didalamnya. Dan kondisi finansial negara yang kalut waktu itu membuat Indonesia harus mengikuti Kesepakatan Washington tersebut.
Wujud rekomendasi yang ada di Kesepakatan Washington tersebut antara lain seperti pengetatan anggaran, efisiensi atas subsidi, dan privatisasi perusahaan milik negara. Hal ini lah yang membuat urusan pemerintah tidak lagi sentralistik, tetapi terdesentralisasi. Perubahan pengelolaan perguruan tinggi negeri menjadi otonom adalah wujud dari desentralisasi.
Ada berbagai bentuk otonomi pengelolaan perguruan tinggi. Antara lain seperti Unit Usaha Peguruan Tinggi (misalnya Apotek UGM), pembiayaan yang lebih bagi mahasiswa yang masuk tidak melalui jalur seleksi nasional, Perguruan Tinggi BHMN dan BLU, pengelolaan subsidi silang yang diserahkan sepenuhnya kepada perguruan tinggi, jasa pendidikan yang masuk dalam kategori Daftar Negatif Investasi (DNI), serta adanya Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang semakin membuka lebar perwujudan otonomi pendidikan yang bukan hanya dalam ruang lingkup perguruan tinggi saja, melainkan apapun satuan pendidikan formal yang didirikan pemerintah atau masyarakat.
Namun, beberapa badan usaha yang dimiliki perguruan tinggi itu ternyata tidak untuk menekan biaya pendidikan agar semakin murah, melainkan diprioritaskan untuk pembangunan dan pengembangan Perguruan Tinggi. Iklim tersebut sengaja diciptakan oleh IMF, Word Bank, dan WTO. Karena pengembangan dan pembangunan membutuhkan banyak biaya, otonomi diberikan untuk memudahkan pengelolaan dana.
Ketergantungan dengan pihak asing seakan-akan mejadi hal yang sulit sekali dihilangkan. Bukan hanya berkaitan dengan sektor pendidikan saja, melainkan juga sektor-sektor lain. Tetapi bukan hal yang mustahil untuk mengubah itu semua. Contohnya negara-negara Skandinavia, negara dengan pedidikan terbaik, melalui berbagai kebijakan yang dilakukan. Mereka menekan biaya pendidikan lewat pemungutan pajak yang tinggi, memberlakukan kebijakan kuliah sambil bekerja, memfokuskan subsidi untuk meminimalisir pembiyaaan yang harus dikeluarkan mahasiswa, hingga pajak yang diberlakukan kepada para sarjana/alumni yang telah sukses. Jika mau, segalanya mungkin saja dilakukan.
Kuliah Kok Mahal? | Penulis: Panji Mulkillah Ahmad | Penerbit: Best Line Press | Cetakan: Kedua, Juni 2019 | Tebal: 230 halaman