Senandung dzikir dan sholawat menjelang Magrib terdengar. Kicauan burung, desiran angin, suara jangkrik ikut meramaikan indahnya kesyahduan tahlil dan tahmid di sore hari.
Terima kasih Ramadan 1442 H yang telah membuatku menjadi lebih kuat. Mulai dari bersabar dengan kebijakan larangan mudik pemerintah, iri dengan teman-teman yang pulang ke rumah, sampai berita duka dari kapal selam RI Nanggala 402.
Banyak yang ingin ku ceritakan padamu wahai Ramadan. Mulai dari terima kasihku pada masjid-masjid di Jogja yang menyediakan takjil dan menu berbuka bagi mahasiswa. Kami mungkin gak bisa berbuka di rumah kami bersama keluarga, tapi sebuah kebanggaan berbuka puasa bersama tamu Allah yang lain di rumah-Nya.
Terkadang mau nangis liat temen-temen yang bisa kumpul dengan keluarganya. Berat berlebaran jauh dari keluarga. Tapi semangat emak menegarkanku. Emak udah lama meninggal, tapi aku yakin emak masih hidup dalam hati. Itulah yang membuat ku tegar, karena emak selalu menemani kesepianku di tempat yang jauh.
Kalau ditanya mau pulang, jelas pengen pulang. Tapi tahan dulu, keselamatan keluarga di rumah nomor satu. Kehilangan emak dulu udah sakit banget, gak usah sampai kehilangan yang lain.
Kalo ada yang bilang kematian di tangan tuhan bukan di tangan corona, emang bener. Tapi tuhan juga benci sama orang-orang yang gak mau berusaha melawan penyakit. Agama juga benci sama orang-orang yang tidak mengedepankan kepentingan orang banyak.
Wahai Ramadhan, bantulah aku! menyampaikan pesan untuk keluarga di kampung halaman. Macam manakah kabar kalian di kampung? Aku harap kalian tetap sehat, tetap Bahagia. Maafin aku yang masih belum bisa pulang. Memang terlihat jahat. Di saat banyak orang yang tetap pulang berjumpa keluarga, aku tetap memilih tinggal di sini. Tapi percaya lah, aku seperti ini karena aku sayang kalian. Ikhlaskan aku menjaga kalian dari jauh.
Sepi?, emang sepi banget. Berjalan di jalanan Jogja yang udah mulai lengang ditinggal pemudik. Kepengen banget dihibur oleh suara keluarga, nuansa kampung halaman, melihat senja sambil berbusana muslim.
Tapi biarlah, di tengah sepi ini aku masih bisa duduk di atas sajadah pada sepertiga malam yang akhir. Meski tidak bisa duduk bersama keluarga, setidaknya bisa duduk berdzikir menghadap Tuhan. Mungkin bukan suara ayah atau kakak dan adik, tapi panggilan tuhan bisa menghibur dan melapangkan dada ku untuk menghadapi semua ini.
Di tengah malam akhir Ramadan. Dengan udara dingin yang sejuk. Saat suara malam yang tenang dan syahdu. Dalam kemisterian kapan kedatangan Lailatul Qadar. Aku memanjatkan doa terus-terusan. Berharap engkau tidak pernah pergi selamanya duhai Ramadan. Bisakah ku genggam tanganmu agar kau tak pergi dariku?
Bahagia ku menyambut hari kemenangan, namun sedih ku melepasmu duhai bulan penuh ampunan.
Pesan terakhir untukmu Ramadan. Setiap malam aku berdoa agar kita bisa berjumpa lagi. Maafkan aku jika ibadahku sebulan ini sangat kurang. Kutak bermaksud menyia-nyiakanmu. Tapi aku sudah berusaha semampuku. Ku harap perpisahan ini bukan lah yang terakhir.
Setiap pertemuan akan ada perpisahan. Setiap kebahagiaan pasti ada kepiluan. Setiap tujuan pasti ada pengorbanan. Setiap yang ditanam kan dipetik.
Tiap malam gelap yang dihiasi dengan kilauan cahaya malaikat rahmat. Hari-hari yang dipenuhi dengan senyuman tulus manusia yang saling berbagi. Ketenangan yang larut dalam kesabaran hamba yang cinta terhadap tuhannya. Semuanya semakin memabukkan muslim dalam mahabbah pada tuhannya. Kini semua menangis, karena sebentar lagi engkau pergi duhai Ramadan. Menyingkap tabir rahmat dan ampunan tuhan.
Tegar menahan sedih melepas kepergian, cepat atau lambat harus berbahagia menghadap bulan penuh kemenangan. Menang melawan hawa nafsu.
Pada akhirnya, ini lah waktu untuk saling memaafkan. Memaafkan diri sendiri, memaafkan keluarga, memaafkan orang lain.
Minal Aidzin wal Faidzin, mohon maaf lahir dan bathin